Menyelami Makna Tauhid
Makna tauhid
Syekh Ibnu ‘Utsaimin memaparkan bahwa kata tauhid secara bahasa adalah isim (kata benda) yang berasal dari perubahan fi’il (kata kerja) ’wahhada-yuwahhidu’ yang bermakna menunggalkan sesuatu. Sedangkan dalam kacamata syari’at, tauhid bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ washifat (Al-Qaul Al-Mufid, I: 5)
Syekh Hamad bin ‘Atiq menerangkan bahwa agama Islam disebut sebagai agama tauhid disebabkan agama ini dibangun di atas pondasi pengakuan bahwa Allah adalah esa dan tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam hal kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah Maha Esa dalam hal zat dan sifat-sifat-Nya. Tiada sesuatu pun yang menyerupai diri-Nya. Allah Maha Esa dalam urusan peribadahan. Tidak ada yang berhak dijadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya. Tauhid yang diserukan oleh para nabi dan rasul telah mencakup ketiga macam tauhid ini (rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat, pen). Setiap jenis tauhid adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari jenis tauhid yang lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mewujudkan salah satu jenis tauhid saja tanpa disertai dengan jenis tauhid lainnya, maka hal itu tidak mungkin terjadi. Hal ini disebabkan dia tidak melaksanakan tauhid dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh agama. (Ibthal At-Tandid, hal. 5-6)
Syekh Muhammad bin Abdullah Al-Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan terwujud dengan memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid, yaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat). ’Laa ilaaha’ adalah penafian. Kita menolak segala sesembahan selain Allah. Sedangkan ’illallah’ adalah itsbat/ penetapan. Kita menetapkan bahwa Allah saja yang berhak disembah. (At-Taudhihat Al-Kasyifat, hal. 49).
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam Tsalatsatul Ushul,
“Ketahuilah –semoga Allah membimbingmu untuk menaati-Nya. Sesungguhnya hakikat al-hanifiyah millah Ibrahim adalah engkau beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Dengan maksud itulah seluruh umat manusia diciptakan oleh Allah.
Sebagaimana ditegaskan Allah Ta’ala,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ
‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.’ (QS. Az-Zariyat: 56)
Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ dalam ayat tersebut adalah agar mereka men-tauhid-kan-Ku. Perintah terbesar yang dititahkan Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam hal peribadahan. Sedangkan larangan Allah yang terbesar adalah kesyirikan, yaitu berdoa kepada selain Allah di samping berdoa kepada-Nya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ
‘Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.’ (QS. An-Nisa’ : 36)
Baca Juga: Pandangan Syekh Ibnu Baz dalam Masalah Akidah dan Tauhid
Hanifiyah = beribadah dengan ikhlas
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan bahwa makna hanifiyah adalah beribadah dengan mengikhlaskan agama kepada Allah. Ibadah memiliki asal makna merendah dan menundukkan diri. Oleh sebab itu, berbagai tugas yang dibebankan Allah kepada umat manusia disebut ibadah karena mereka diperintahkan untuk mengerjakannya dalam keadaan tunduk dan patuh kepada Allah.
Adapun makna ibadah dalam terminologi syariat yaitu suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan sebagaimana sudah dimaklumi bahwa ibadah hanya akan diterima jika dilandasi dengan keikhlasan.
Makna ikhlas adalah seorang hamba beramal dengan mengharapkan rida dan pahala dari Rabbnya, bukan dalam rangka mencari tujuan lain berupa kepemimpinan, kedudukan, ataupun perkara duniawi lainnya. Mengharapkan rida dan pahala dari Allah tidaklah mengurangi keikhlasan. Bahkan orang yang beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan pahala itu tercela. Hal itu merupakan tata cara beragama kaum sufi yang bertentangan dengan dalil-dalil syari’at. (lihat Hushuulul Ma’muul, hal. 43)
Buah keikhlasan
Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan menyebutkan beberapa buah dari keikhlasan. Menyempurnakan tauhid dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah akan menyempurnakan ketaatan dan melenyapkan segala bentuk penyembahan dan pemujaan kepada selain-Nya.
Orang yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah akan dibersihkan dari maksiat dan dosa. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
كَذَ ٰلِكَ لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ ٱلسُّوۤءَ وَٱلۡفَحۡشَاۤءَۚ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُخۡلَصِینَ
“Demikianlah agar Kami memalingkan darinya (Nabi Yusuf) keburukan (maksiat) dan perbuatan keji. Sesungguhnya dia termasuk hamba Kami yang terpilih (dikaruniai keikhlasan).” (QS. Yusuf: 24)
Orang yang ikhlas dalam beribadah, maka dia akan terjaga dari tipu daya setan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِبَادِی لَیۡسَ لَكَ عَلَیۡهِمۡ سُلۡطَـٰنٌ
“Sesungguhnya tidaklah engkau (setan) mampu menyesatkan hamba-hamba-Ku (yang terpilih).” (QS. Al-Hijr: 42)
Dan setan pun berkata,
فَبِعِزَّتِكَ لَأُغۡوِیَنَّهُمۡ أَجۡمَعِینَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡهُمُ ٱلۡمُخۡلَصِینَ
”Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (ikhlas).” (QS. Shad: 82-83)
Haram masuk neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadis ‘Itban, “Sesungguhnya Allah mengharamkan orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dengan mengharapkan wajah Allah masuk ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Majmu’ Fatawa, 10: 260-261. disadur dari Hushuulul Ma’muul, hal. 43-44)
Millah Ibrahim adalah tauhid
Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata, “Al-Hanifiyah adalah millah (agama) Ibrahim. Agama Ibrahim biasa disebut dengan istilah al-hanifiyah.” (Hushulul Ma’mul, hal. 42).
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Al-Hanifiyah adalah millah (agama) yang memiliki kecenderungan menjauhi syirik. Agama yang ditegakkan di atas landasan keikhlasan untuk Allah ‘Azza Wajalla.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 37)
Syekh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhahullah berkata, ”Yang dimaksud dengan al-hanifiyah millah Ibrahim ‘alaihis salam adalah ajaran yang dititahkan Allah Jalla Wa‘ala kepada Nabi-Nya. Ajaran yang diperintahkan Allah untuk diikuti oleh seluruh umat manusia. Allah Jalla Wa‘ala berfirman,
ثُمَّ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰهِیمَ حَنِیفࣰاۖ
”Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengikuti millah Ibrahim dengan hanif.” (QS. An-Nahl : 123)
Hakikat millah Ibrahim adalah ajaran tauhid…” (Syarh Kitab Tsalatsatil Ushul, hal. 16)
Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan kata-kata ‘dengan hanif’ dalam ayat tersebut (QS. An-Nahl: 123) adalah dengan “istikamah di atas agama Islam”. Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa makna kata hanif ialah almunharif qashdan ‘an syirki ila tauhid (sengaja menjauhi dan meninggalkan syirik menuju tauhid). Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa makna hanif adalah, ”Muslim yang lurus berada di atas agama Islam.” Al-Alusi rahimahullah mengatakan bahwa makna hanif adalah, ”Berpaling dari semua agama yang batil menuju agama yang hak dan tidak bergeser darinya.” Tafsir serupa disampaikan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir. Syekh As-Sa’di mengatakan bahwa makna hanif adalah muqbilan ‘alallah bil mahabbah wal inaabah wal ‘ubuudiyah mu’ridhan ‘an man siwaahu (menghadapkan jiwa raga kepada Allah dengan rasa cinta, tobat, dan penghambaan serta berpaling dari segala sesembahan selain-Nya). Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri mengatakan tentang makna hanif adalah condong kepada agama yang lurus, yaitu Islam (lihat Maktabah Syamilah)
Baca Juga:
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel asli: https://muslim.or.id/77699-menyelami-makna-tauhid.html